Perzinahan dan Berbagai Persoalan Perkawinan dalam Tradisi Masyarakat Toraja: Catatan Belanda 1947 (5)
Ilustrasi |
TORAJA.ARUNGSEJARAH.COM - Perzinahan dan Berbagai Persoalan Perkawinan dalam Tradisi Masyarakat Toraja: Catatan Belanda 1947 (4).
Kehamilan, Kelahiran, Khitanan dan Kikir Gigi:
SEGERA setelah mulai hamil, maka suami istri tersebut terikat akan beberapa pemali/pantangan.
1. Yang laki-laki tidak boleh menempa, karena persetuhan dengan darah akan seperti karat.
2. la tidak boleh mencukur rambutnya, karena nanti anak tersebut akan tidak berambut/gundul.
3. la tidak boleh berhubungan badan dengan perempuan lain yang bukan istrinya.
4. la tidak boleh memotong binatang, karena kalau tidak istrinya akan mengalami keguguran.
5. Yang perempuan tidak boleh duduk dengan punggungnya mengarah ke pintu; karena jika mungkin akan ada roh yang diam-diam masuk untuk mengambil jiwa anak yang belum lahir tersebut.
6. la tidak boleh makan sesuatu yang berbau busuk.
7. Di dalam rumah, jika ada orang yang berjalan dibelakang perempuan yang hamil tsb., maka akan mendatangkan bencana baginya.
Jika kontraksi kelahiran mulai berlangsung, maka didalam rumah harus diperiksa, jangan ada tali, sarung atau bahan pakaian lain yang tersimpul/terikat, sementara semua yang bergantung harus diambil dan diletakkan diatas lantai; benda- benda dari besi diangkat keluar rumah, demikian juga ayam aduan.
Jika ayam-ayam aduan ini tinggal didalam rumah, maka kemudian jika diadu, ayam-ayam ini tidak akan pernah menang; sementara benda-benda lain yang disebutkan tadi, dapat mempersulit kelahiran.
Setelah persiapan ini dijalankan, serta dukun beranak yang dipanggil sudah datang, maka perempuan itu berjongkok diatas tempat makanan babi yang dibalik dengan tangannya bersandar pada dua perempuan didepannya dan punggungnya disangga oleh seorang perempuan dibelakangnya. Sang dukun memijat tangan dan punggung perempuan itu hingga ia melahirkan.
Jika ia sudah melahirkan, maka kedua perempuan tadi mengangkat sedikit si ibu dari bawah ketiaknya dan sang dukun kemudian menekan perut ibu tersebut dengan tangannya dan berusaha mengeluarkan ari-arinya (toninna) secara paksa.
Sebelum ari-arinya keluar, tali pusatnya tak boleh dipotong; jika hal ini berlangsung terlalu lama, maka dukun itu kemudian akan tetap memotong tali pusatnya dengan bantuan sepotong bambu yang tajam (Ma), setelah tali pusat itu diikat dengan benang. Seringkali bayi tersebut meninggal karena terlalu lama menunggu.
Pusat (posi) bayi itu dilumuri dengan ramuan kunyit dan ditutup dengan daun sirih.
Ari-arinya dimasukkan kedalam sebuah keranjang anyaman (kapipe) dan di kubur di bagian timur rumah dengan sebuah batu diatasnya dan tiga pohon bambu tallang ditanam disekelilingnya.
Jika yang lahir seorang anak laki-laki, maka para penghuni rumah berteriak keras-keras : 'Jyo, iyo, yau". Jika yang lahir anak perempuan maka dengan nada tertawa mereka berseru : "He - he - he, yooo".
Kemudian selama tiga hari berturut-turut dipotong: seekor ayam dengan kaki kuning, lalu seekor babi dan kemudian seekor kerbau, sebagai persembahan kepada Puang Matoa dan para Deata; bagi yang kurang mampu hanya ayam saja yang di potong. Persembahan kurban ini diiringi nyanyian dan tarian (manimbong).
Selama tiga hari itu tidak boleh ada sesuatu pun yang diangkat keluar dari rumah, dan ibu tersebut tidak boleh pergi terlalu jauh dari rumah, serta sang bapa tidak boleh pergi bekerja.
Selama tiga hari pertama tersebut, bayi itu disusukan terlebih dahulu kepada seorang perempuan lain. Setelah bayi itu berusia kira-kira sebulan, ia sudah diberikan makan nasi yang telah dikunyah sebelumnya. Anak-anak dari seorang Puang, Anak disese dan Tomakaka tidak boleh dicukur sebelum ada pemotongan seekor babi sebagai kurban (diku'ku).
Sama seperti di Jawa, ada kebiasaan bahwa orang tua serta kakek neneknya, mulai saat kelahiran dari anak pertama akan disebut menurut nama anak tersebut. Jika anak itu dinamakan Sule, maka ayahnya akan disebut Ambe Sule dan Ibunya Indo' Sule serta nenek-kakaknya disebut "Nene' Sule".
Pelaksanaan khitanan dilakukan pada usia delapan tahun dengan sebilah pisau tajam.
Mula-mula ditempatkan sepotong kayu (dari kayu cendana . untuk para Puang dan bambu untuk golongan yang lain) diantara buah zakar dan kulit atas, yang kemudian diletakkan diatas balok kayu untuk kemudian diiris.
Dalam upacara ini oleh para Puang dipersembahkan seekor babi dan ayam; sedangkan golongan lainnya tidak perlu sebanyak itu.
Persembahan yang sama juga diberikan pada upacara kikir gigi, yang dilakukan pada usia 14 atau 15. Yang dikikir hanyalah gigi depan atas, hingga setengah atau hingga ke gusi, dengan sebuah batu atau kikir.
Asal usul atau arti dari upacara di atas tidak diketahui.