Pesta Kematian di Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (1)
Ma'badong dan Tau-tau di Toraja |
TORAJA.ARUNGSEJARAH.COM - Pesta Kematian di Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (1).
TORAJA merupakan salah suku bangsa yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Saat ini populasinya diperkirakan sekitar 500 ribu jiwa lebih, di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja (291.046 jiwa/2022) dan Kabupaten Toraja Utara (268.198/2022).
Mayoritas suku Toraja memeluk Kekristenan, sebagian masih menganut agama asli Aluk To Dolo, dan sebagian lagi menganut Islam. Pemerintah Indonesia telah mengakui Aluk To Dolo sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Toraja memiliki banyak keunikan. Sejak masa lalu, wilayah ini juga menjadi salah satu objek penulisan dari berbagai bangsa, khususnya para peneliti Belanda. Selain itu, dalam hal pemerintahan ada satu yang menarik dari peninggalan Belanda dan hingga saat ini dilakukan dalam pemerintahan yakni adanya laporan yang buat setiap berakhirnya masa pemerintahan. Laporan ini disebut LAPORAN SERAH TERIMA yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Memorie van Overgave.
Salah satu yang terkait dengan Tana Toraja yakni Memorie van Overgave berkaitan dengan onderafdeeling Tana Toraja dari Kontrolir peletak jabatan di Kementerian Dalam Negeri (B.B): J.M. Van LIJF yang memerintah dari 23 Juli 1946 s/d 23 Juni 47. Dalam laporan diterbitkan kembali Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu naskah sumber salah satunya berisi mengenai Pesta Kematian Masyarakat Toraja. Berikut laporannya:
***
PESTA KEMATIAN:
Pesta kematian adalah pesta yang paling utama, yang sudah - dipersiapkan sejak seseorang masih hidup, agar ia mendapatkan pesta yang sesuai dengan harga dirinya.
Mereka yang tidak punya anak segera mengadopsi sesuai yang telah dibicarakan di atas, di mana mereka mendapatkan seseorang yang mereka anggap, bahwa ia pada akhirnya tidak akan mengecewakan mereka.
Orang lain lagi, pada hari-hari terakhir hidupnya menunjuk satu atau lain petak sawah yang diperuntukkan untuk "dibawa" pada upacara kematian mereka, maksudnya bahwa para sanak keluarga yang sanggup membawakan kerbau yang akan dipotong pada upacara kematian, bisa mendapatkan bagian dari sawah-sawah tersebut, atau bahwa kerbau-kerbau yang diperlukan dapat dibeli dari penjualan sawah-sawah tersebut.
Nilai-nilai yang dikaitkan dengan upacara ini bergantung selaras dengan pandangan mereka mengenai kehidupan di alam baka.
Pada bab mengenai "Kepercayaan" telah dijelaskan bahwa pesta kematian telah berkembang menjadi suatu pemborosan yang besar.
Pada masa sebelum kami (Belanda, pent.) datang ke negeri ini, sering terjadi bahwa dalam pesta-pesta yang besar, beratus- ratus kerbau dan tak terhitung banyaknya babi dipotong, sehingga tidak jarang terjadi bahwa semua harta milik seseorang dikurbankan untuk pesta semacam itu.
Sejak di sini ada pemerintahan yang teratur, maka telah dilakukan pembatasan terhadap hal itu dengan menetapkan bahwa paling banyak 40 kerbau yang boleh dipotong, sedangkan untuk babi tak ada pembatasan.
Selanjutnya juga pajak pemotongan hewan berfungsi memberikan dampak yang besar dalam mengurangi pemotongan hewan. Lama sebelum pesta kematian di mulai, oleh keluarga telah didirikan rumah- rumah bambu di arena pesta untuk tempat para undangan pesta yang akan datang dari berbagai tempat.
Beberapa tahun setelah kedatangan Pemerintahan Belanda (1906), telah dibuat kesepakatan dengan para Kepala Adat, bahwa dalam setiap stadium utama pesta kematian, tidak boleh dipotong lebih dari 40 kerbau, namun suatu pesta besar mempunyai dua stadium utama, sehingga jumlahnya masih sangat besar. Sedangkan pemotongan babi tak terbatas.
Kontrolir melakukan pengawasan atas kesepakatan, yang tidak dapat dipungkiri, telah disetujui dengan rasa terpaksa akibat beban moral. Pada jaman Jepang orang tidak lagi melaksanakan kesepakatan ini.
Setelah pengambil-alihan Pemerintahan Tana Toraja oleh seorang kontrolir Pemerintahan Dalam Negri (B.B), pengawasan atas kesepakatan ini kembali dilakukan.
Pada mulanya, dalam beberapa hal, atas dorongan beberapa pihak terpaksa disetujui pelanggaran terhadap batas jumlah maksimum. Tahap pertama dari beberapa upacara kematian yang sangat besar dirayakan di tahun 1944 atau 1945, dimana telah dipotong 49 hingga 79 kerbau. Sekarang harus diperbolehkan jumlah maksimal 51 hingga 81.
Tingkatan sosial seorang penyelenggara pesta akan turun drastis jika pada upacara pesta stadium kedua, jumlah kurbannya berkurang dibanding stadium pertama.
Dalam pengertian orang Belanda secara mengejek akan dikatakan oieh masyarakat banyak, bahwa rupanya penyelenggaraa pesta pada awalnya telah "menghabiskan seluruh pelurunya (= modalnya, penj.)", dan berlagak lebih kaya daripada kenyataannya. Juga disini tampak kembali motif sosialnya.
Bersambung.... Pesta Kematian di Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (2) - Arung Toraja (arungsejarah.com)