Pesta Kematian di Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (2)
Ma'badong dan Tau-tau di Toraja |
PADA MULANYA, dalam beberapa hal, atas dorongan beberapa pihak terpaksa disetujui pelanggaran terhadap batas jumlah maksimum. Tahap pertama dari beberapa upacara kematian yang sangat besar dirayakan di tahun 1944 atau 1945, dimana telah dipotong 49 hingga 79 kerbau. Sekarang harus diperbolehkan jumlah maksimal 51 hingga 81.
Tingkatan sosial seorang penyelenggara pesta akan turun drastis jika pada upacara pesta stadium kedua, jumlah kurbannya berkurang dibanding stadium pertama.
Dalam pengertian orang Belanda secara mengejek akan dikatakan oieh masyarakat banyak, bahwa rupanya penyelenggaraa pesta pada awalnya telah "menghabiskan seluruh pelurunya (= modalnya, penj.)", dan berlagak lebih kaya daripada kenyataannya. Juga disini tampak kembali motif sosialnya.
Dalam perundingan dengan para kepala Lembang yang utama, yang dikemudian hari dipilih - menjadi Tongkonan Adat, Kontrolir memperluas pengawasannya dengan juga melakukan pembatasan atas pemotongan babi. Jumlah ternak babi pada jaman Jepang telah berkurang 45%, dan babi, berbeda dengan kerbau, mempunyai nilai ekonomi yang langsung. Pada masa sebelum perang, Tana Toraja melaksanakan ekspor babi yang cukup penting ke
Makassar dan Kalimantan Timur, melalui Pare-Pare. Untuk mengesahkan pengawasan ini, maka pada akhirnya tahun 1946 oleh Tongkonan Adat, dalam perundingannya dengan saya,
disusun suatu peraturan pemerintah mengenai pengawasan ini. Untuk memperkuat pembatasan ini, didalamnya ditetapkan tarif pemotongan hewan yang bersifat progresif : misalnya barang siapa yang memotong 40 ekor kerbau dan 40 ekor babi, harus membayar pajak pemotongan hewan dua kali lipat.
Penetapan keputusan ini tidak sempat dilaksanakan, karena melalui P.P. Pemda No. 1/1947 seluruh pajak pemotongan hewan digandakan, dan Pemerintahan Swapraja tidak langsung berani menetapkan tambahan pajak progresif pada pemotongan hewan dipesta kematian.
Baru kemudian P.P. Pemda No, 4/1947 tertanggal 10 Maret 1947 dikirimkan untuk disetujui, namun hingga kini belum diterima kembali, sementara ketetapan ini dalam prakteknya telah dijalankan.
Didalamnya disebutkan antara lain, bahwa dengan ketetapan ini Ketua Dewan Pemerintahan Harian pada setiap upacara kematian, untuk stadium pesta yang manapun, akan menetapkan berapa kerbau dan babi yang boleh dipotong.
Karena ada kecenderungan untuk memotong hewan lebih banyak daripada yang dituntut oleh adat, Kepala Tongkonan Adat dapat membatasi kelebihan ini, sejauh kondisinya memungkinkan; membatasi secara mutlak tidaklah mungkin. Izin untuk jumlah kecil dapat ia delegasikan kepada para ketua Lembang.
Izin untuk jumlah maksimal lebih dari 40 babi diberikan oleh Tongkonan Adat dengan persetujuan Kontrolir. Batas pengaman terakhir ini memang diperlukan. Pajak pemotongan hewan yang duakali lipat ini lagi pula memang memberikan pengaruh untuk membatasi jumlah. Namun ini tak boleh dinilai terlalu tinggi.
Dimasa sekarang, dimana ruang gerak uang terbatas, pajak pemotongan ini bahkan tidak begitu berarti jika ia memang ingin memotong banyak kurban; yang lebih penting adalah opini publik yang lambat laun mulai berubah.
Banyak orang Kristen mulai membatasi upacara ini menjadi acara makan bersama yang sederhana dimana hanya sedikit hewan yang dipotong. Yang lain, yang karena kedudukan sosialnya yang tinggi belum bisa mengubah tradisi, tetap memotong jumlah kerbau dan babi yang diwajibkan, tetapi hanya hewan yang kualitas dan harganya biasa saja.
Bahkan ada juga, yang membawa jumlah hewan yang dituntut ke upacara kematian, tetapi memberikan sejumlah hewan dalam kondisi hidup kepada para ahli waris (contohnya pada upacara seorang perempuan Kristen yang terkenal : Lai Kalua di Kalambe (Tikala) di bulan September-Oktober 1946. Juga terjadi bahwa para pewaris dan kepala Lembang menggunakan pengaruh mereka, agar jangan sebagian besar warisan digunakan untuk membeli seekor tedong bonga.
Penyebab berkurangnya jumlah pemotongan kerbau pada pesta kematian orang Kristen bagi beberapa lembang disebabkan oleh keputusan yang diambil pada tanggal 2 Juni yang lalu berkaitan dengan masalah bukuleso (lihat butir berikut).