Pong Tiku alias Ne Baso: Riyawat Hidup dan Kematiannya (2)
Kopi dan Pekatnya Situasi Toraja
KOPI yang telah menjadi komoditas yang menarik dalam perdagangan bahkan internasional menjadi masalah tersendiri di wilayah Toraja. Banyak pedagang yang perlahan-lahan ingin menguasai wilayah penghasil kopi tersebut. Bahkan beberapa kerajaan mulai tertarik dan berusaha berebut pengaruh di beberapa wilayah di Toraja.
Dalam bukunya Tangdilintin menyebutkan, kareka khawatir akan persaingan dari kerajaan Luwu dan Bone di utara dan Sidareng dan Sawitto di selatan, maka Pong Tiku berusaha memperkuat pertahanan wilayahnya dan akhirnya mencapai beberapa perjanjian perdagangan dengan beberapa kerajaan lainnya. Namun, merambahnya pengaruh Bugis menyebabkan ketegangan baru antara negara bagian, yang mencapai puncaknya dalam Perang Kopi pada tahun 1889. Dalam situasi tersebut Pong Tiku memihak kerajaan selatan yang dipengaruhi Bugis.
Ketika itu, Pemimpin militer Bone Petta Panggawae dan prajurit Songko' Borrong (DIberi nama berdasarkan ciri-ciri topi mereka, yang berwarna merah. Dalam bahasa setempat, songko' berarti topi dan borrong berarti merah) menyerbu Pangala' dan memihak Pong Maramba', seorang bangsawan kecil. Panggawae mengambil alih ibu kota Tiku di Tondon dan meruntuhkan kota, membuat Tiku dan penduduk sipil meninggalkan daerah tersebut.
Akan tetapi, Pong Tiku, yang berpihak pada pemimpin Sidenreng, Andi Guru, berhasil merebut kembali sisa-sisa ibu kota malam itu juga dan Perang pun berakhir pada tahun 1890. Atas perintah pemerintah kolonial di Jawa, pasukan Belanda merangsek sampai Bone. Akan tetapi, negara-negara bagian yang tersisa segera memulai serangkaian perjuangan lain atas perdagangan senjata dan budak. Negara-negara kemudian menukar senjata dengan budak. Tiku juga berpartisipasi dalam perdagangan.
Tandilintin (1976) menyebut bahwa pada akhirnya Pong Tiku membentuk aliansi dengan para pemimpin Bugis terdekat, yang mengurangi ketegangan dan meningkatkan perdagangan. Bigalke bahkan menuliskan bahwa Pong Tiku juga mempelajari sistem penulisan dan bahasa kelompok tersebut, sehingga ia dapat dengan mudah berkorespondensi dengan para pemimpin Bugis. Bahkan akibat perang tersebut, Pong Tiku telah merebut banyak wilayah.
Untuk menghindari pengulangan penghancuran Tondon, Tandilintin (1976) menjelaskan bahwa Pong Tiku memulai pembangunan tujuh benteng di tanahnya, serta beberapa pos pengawasan dan gudang. Dalam catatan Bigalke, Benteng Toraja dirancang untuk mencegah masuknya lembah menuju pusat populasi, dan benteng Tiku dibagi antara bagian timur dan barat tanahnya. Dia menerapkan sistem pajak untuk mendanai langkah-langkah defensif ini: pemilik sawah diwajibkan untuk dikenakan pajak dua pertiga dari hasil panen mereka, sementara petani lain dikenai pajak sepuluh persen.(Bigalke, 2005).
Bersambung.... Pong Tiku alias Ne Baso: Riyawat Hidup dan Kematiannya (3) - Arung Toraja (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Pong Tiku alias Ne Baso: Riyawat Hidup dan Kematiannya (1) - Arung Toraja (arungsejarah.com)
****
Adams, Kathleen M (2006). Art As Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3072-4.
Bigalke, Terance William (2005). Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People. Singapore: Singapore University Press. ISBN 978-9971-69-313-8.
"Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia". Awards of the Republic of Indonesia. Indonesian Social Ministry. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-25. Diakses tanggal 25 Mai 2023.
Draeger, Donn F (1992). Weapons and Fighting Arts of Indonesia. Clarendon: Tuttle. ISBN 978-0-8048-1716-5.
Friend, Theodore (2003). Indonesian Destinies. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01137-3.
Tangdilintin, L T (1976). Sejarah Perjuangan Pahlawan Pong Tiku. Rantepao: Lepongan Bulan Tana Toraja. OCLC 13501891.
Volkman, Toby Alice (1985). Feasts of Honor: Ritual and Change in the Toraja Highlands. Urbana: University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-01183-2.