Tradisi Perkawinan Masyarakat Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (1)
Ilustrasi |
TORAJA memiliki banyak keunikan. Sejak masa lalu, wilayah ini juga menjadi salah satu objek penulisan dari berbagai bangsa, khususnya para peneliti Belanda. Selain itu, dalam hal pemerintahan ada satu yang menarik dari peninggalan Belanda dan hingga saat ini dilakukan dalam pemerintahan yakni adanya laporan yang buat setiap berakhirnya masa pemerintahan. Laporan ini disebut LAPORAN SERAH TERIMA yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Memorie van Overgave.
Salah satu yang terkait dengan Tana Toraja yakni Memorie van Overgave berkaitan dengan onderafdeeling Tana Toraja dari Kontrolir peletak jabatan di Kementerian Dalam Negeri (B.B): J.M. Van LIJF yang memerintah dari 23 Juli 1946 s/d 23 Juni 47. Dalam laporan diterbitkan kembali Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu naskah sumber salah satunya berisi mengenai Tradisi Perkawinan Masyarakat Toraja. Berikut laporannya:
***
Perkawinan di Toraja (sipobaine atau siala) tidak memiliki banyak ikatan, dan upacaranya juga tidak terlalu diekspos.
Tidak ada pertunangannya sebelumnya, sekalipun hubungan ini biasanya atas kemauan keduanya.
Untuk suatu perkawinan diperlukan persetujuan orang tua. Jika ketentuan ini dilanggar maka dapat timbul gangguan, namun biasanya tak lama, kemudian terjadi perdamaian. Agar tahu apakah suatu lamaran kemungkinan akan diterima, seorang rakyat biasa akan meminta orang tuanya atau keluarga mencari informasi pada orangtua perempuan, apakah mereka berkeberatan terhadap perkawinan itu.
Jika tidak, maka calon suami akan mengutus seorang yang dipercaya untuk membawakan ramuan sirih pinang (pangah). Jika pemberian ini diterima, maka mempelai pria akan menunggu dua tiga hari. Pada malam harinya, ia kemudian pergi ke rumah calon mempelai wanita. Suatu rombongan yang berjumlah genap (misalnya 10 atau 12 orang) mengantarnya. Tominaa berjalan didepan.
Mereka tidak boleh bersentuhan satu dengan yang lain ataupun menyentuh benda-benda disepanjang jalan atau terantuk, sebab itu dapat membawa bencana. Tominaa harus menjelaskan semua bunyi-bunyi alam yang mereka dengar disepanjang jalan.
Misalnya bunyi kodok mengorek merupakan pertanda baik, karena itu berarti pasti akan ada anak-anak yang dilanirkan, karena bunyi ini diasosiasikan dengan bunyi yang dikeluarkan bayi. Juga teriakan burung hantu besar merupakan pertanda baik, sebaliknya bunyi burung hantu kecil tidak baik, karena itu diasosiasikan dengan kematian.
Jika orang mengamati suatu pertanda, maka rombongan itu akan berhenti dan tominaa mencoba memberikan penjelasan. Jika pertanda itu kurang baik, tominaa akan berusaha mengalihkannya dengan satu dan lain cara.
Jika penjelasannya ditolak, maka ia boleh mencoba sekali lagi dan begitu seterusnya sehingga rombongan itu cukup puas dengan penjelasannya. Jika tominaa tidak berhasil memberikan penjelasan yang memuaskan, rombongan ini akan berbalik kembali kerumah, karena berarti malam itu tidak baik. Orang akan mencoba kembali pada malam yang lain.
Jika orang tiba di rumah calon mempelai wanita, maka di sana sudah menunggu seorang tominaa yang lain. Dia akan menanyakan tujuan kedatangan rombongan itu. Tominaa - mempelai laki-laki akan menjawab dengan ungkapan-ungkapan Tominaa-kuno yang kira-kira demikian bunyinya :
"Kami datang menurut adat lama (aluk), semenjak manusia itu ada. Mereka menikah dan mempunyai anak, hingga bumi ini dipenuhinya"
" Saya menenma kamu dengan senang hati, karena kamu datang dengan cara yang benar untuk menikah, dan tidak secara diam-diam, karena itu bukan adat (aluk)"
Kemudian rombongan itu masuk dan duduk. Lalu tominaa dari rumah tersebut berbicara kembali dan berseru memanggil Puang Matua, para deata dan nenek moyang dengan ungkapan-ungkapan lama. Merekalah yang sejak semula telah membuat perkawinan itu. Sajian pesta dibagikan.
Mula-mula tominaa menerima pembagian makanannya dari mempelai laki- laki, kemudian si perantara perkawinan. Mempelai laki-laki dan perempuan duduk berhadapan dan diantara mereka ada satu piring yang diletakkan diatas sebuah meja rendah. Mereka bergantian makan dengan sendok yang sama. Pengantin wanita menimang disatu tangannya sebuah parang tanpa sarungnya dengan bagian yang tajam ke atas, seperti menimang seorang bayi; ini merupakan perlambang dari seorang anak yang sudah makan dan mempunyai gigi yang kuat seperti besi.
Setelah jamuan makan, kedua tominaa berbicara kepada pasangan mempelai dengan bahasa sehari- hari dan memberi mereka nasihat untuk kehidupan mereka selanjutnya. Kemudian ditetapkan kapa' , yaitu denda yang harus diberikan kepada pihak yang lain oleh salah satu pasangan, jika ia oleh perilaku yang tidak baik akan menyebabkan batalnya perkawinan itu/perceraian.
Mempelai laki-laki akan tinggal bersama mertuanya. Orang - menyatakan bahwa ini dilakukan atas keinginan, agar mempelai wanita masih bisa berada dibawah pengawasan orang tuanya untuk sementara waktu, agar ia bersikap sebagai istri yang baik. Juga mungkin karena ia belum sepenuhnya setuju dengan perkawinan itu karena orang tuanya telah memaksanya. Di kemudian hari menantu laki-laki ini akan membangun rumahnya sendiri dan mereka tinggal disana. Pada umumnya ia akan tinggal tidak jauh dari mertuanya.
Pada masa lalu tidak dilakukan perkawinan sebelum seorang anak laki-laki berusia 20 tahun dan seorang anak perempuan berusia 18 tahun.
Pertunangan (sikampa) dilakukan oleh orang tua untuk anak- anak mereka. Mereka bahkan kadang-kadang membuat kesepakatan bagi anak-anak mereka yang belum lahir untuk dinikahkan jika sudah cukup umur, tentunya jika anak-anak tersebut satu laki-laki dan satu perempuan.
Pertunangan semacam itu bisa dibatalkan tanpa ganti rugi dengan kesepakatan orang tua kedua belah pihak : sipatoro melo, artinya secara harafiah : tetap berhubungan baik. Ganti rugi harus diberikan jika pertunangan itu dibatalkan oleh satu pihak: bolloan patu, yang secara harafiah artinya: menggulingkan, merusakkan panci. Ganti rugi ini bergantung kepada tingkatan sosial mereka harus berupa :