Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (6)
SECARA garis besar ritual ini dapat dibedakan atas empat jenis :
1. Ritual kematian.
2. Ritual untuk mengusir bencana dan penyakit.
3. Ritual untuk meniadakan kejahatan yang timbul oleh kesalahan yang dibuat, serta upacara pengurbanan sebagai ungkapan terimakasih, jika kejahatan yang ditimbulkan itu telah hilang.
4. Ritual pembangkit kekuatan hidup, yaitu antara lain upacara pengkultusan padi.
Aneka pesta mabua, dan sebagainya.
Pada berbagai ritual, akan bertugas pemuka-pemuka berikut ini:
- to mebalun (pembalut jenazah) yang sudah disebutkan diatas
- dukun obat (to ma'dampi).
- Indo'padang atau bunga'lalan, to parenge yang khusus ditugaskan untuk upacara padi.
- To medampi adalah pemimpin suatu pesta yang bertujuan mengusir bencana dan untuk membawa kesembuhan bagi yang sakit keras {pesta maro).
- To minaa adalah ahli adat yang utama; ia tampil pada ritual- ritual yang dilaksanakan untuk mengusir bencana akibat kesalahan yang terjadi. Mereka menjalin hubungan baik dengan para dewa dan nenek moyang, mereka adalah pemuka agama dari masyarakat dan pria-pria yang berpengaruh. Bantuan mereka setiap saat dan dalam berbagai hal diperlukan.
Pada orang yang sakit parah, tominaa harus menelusuri apa penyebabnya, jadi sesuai dengan jalan pikiran masyarakat ini, yaitu pelanggaran adat apa yang telah mereka lakukan. Jika hal ini telah diketahui maka akan ditetapkan kurban apa yang harus dipersembahkan untuk menolak bala tersebut. Juga pada gagal panen akan ditelusuri kesalahan siapa sebenarnya itu, dan setelah diperoleh jawabannya, dilakukan pengurbanan untuk pendamaian.
Yang menempati posisi khusus adalah burake. Mereka tampil pada berbagai jenis pesta (la'pa' bua = persatuan tongkonan yang tertinggi) Kontrolir Seinstra menggambarkannya sebagai berikut:
Pada acara ini digunakan rempah-rempah yang membawa kebaikan, yang disatukan dalam satu berkas dan diikatkan pada sebuah lembing pada salah satu tiang rumah dari penyelenggara pesta, dan yang nantinya harus ditebarkan diseluruh wilayah disekelilingnya.
Dengan ritual ini, maka akan datang suatu kekuatan yang akan mendiami seorang perempuan "to tumbang", yang akan tinggal dirumah si penyelenggara pesta dan harus tetap berada didekat lembing dimana berkas rempah-rempah itu diikatkan.
Pada upacara-upacara selanjutnya, yang memakan waktu beberapa hari, to tumbang harus menjaga bahwa dirinya tidak bersentuhan dengan benda-benda yang berkaitan dengan suasana kematian. Jadi misalnya, ia tidak boleh makan kurban yang ditujukan untuk orang mati, atau sesuatu yang khusus dimakan dalam masa berkabung (antara lain jagung).
Dalam iring-iringan menuju ke tempat pesta, ia tidak boleh menyentuh tanah, dan bagi dia dihamparkan daun-daun dengan jarak tertentu untuk alas kakinya, dimana burake sebelumnya menebarkan beras kuning.
Pada upacara selanjutnya ditarikan tarian berkeliling oleh para lelaki bersama seorang ulama wanita, dengan ditemani seorang ulama wanita lainnya. Ulama wanita ini mengikat rambutnya seperti para lelaki, menggunakan ikat kepala dengan bulu burung parkit dan memegang perisai dan pedang ditangannya. Dari tarian perang ini diharapkan timbul suatu kekuatan yang membawa keadaan sehat sejahtera.
Di wilayah-wilayah bagian timur, orang dahulu merayakan pesta la'pa, dimana yang tampil bukan burake seperti yang disebut diatas (burake tattiku), melainkan burake tambolang. Mereka ini adalah laki-laki yang menerima panggilan menjadi burake dari para dewa dan dengan itu berubah dari laki-laki menjadi perempuan.
Dalam upacara ini ia berada dalam kondisi kemasukan/kesurupan. Keadaan ini dapat bertahan tiga atau empat bulan, setelah itu ia akan normal kembali. Jika ia tidak kembali sadar dengan sendirinya, maka akan diselenggarakan pesta maro bagi dia, dimana bantuan to ma'dampi mutlak diperlukan.
Setelah itu akan dipersembahkan seekor babi atau - ayam oleh tominaa kepada para dewa. Burake tambolang pada pesta la'pa yang pertama wajib masuk pendidikan pada seorang ulama wanita untuk dikemudian hari dapat tampil sendiri.
la kemudian untuk selanjutnya harus berpakaian seperti perempuan dan melakukan tugas-tugas kewanitaan. Orang- orang ini bersifat hermaprodit (waria); orang-orang seperti ini karena itu sebaliknya juga disebut burake.
Kita tidak bisa beranggapan bahwa kekafiran Tae Toraja sebagai hampir punah; sebaliknya "Hiqh-cultur" (budaya tinggi) mungkin sedang punah bersama para burake. Kepercayaan rakyat merupakan agama burake. Kepercayaan rakyat merupakan agama kebersamaan bersifat umum. Ikatan sosial yang masih kuat, membuat rakyat masih dekat dengan kekafiran.
Sebelumnya.... Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (5) - Arung Toraja (arungsejarah.com)