Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (5)
PEMERINTAH Hindia Belanda telah bertahun-tahun mencoba membatasi pemborosan di pesta-pesta kematian semacam ini. Hal ini dibahas ditempat lain. Perjudian secara umum sejak tahun 1912 tidak lagi diperkenankan. Hanya para Puang yang berkuasa saat itu di Sangalla', Makale dan Mengkendek yang pada masa itu menerima persetujuan tertulis, bahwa pada pesta-pesta kematian yang mereka rayakan, mereka diperkenankan menyelenggarakan perjudian selama beberapa hari.
Incest, juga diantara orang-orang yang menurut adat sama sekali tidak diperkenankan menikah karena hubungan keluarga yang terlalu dekat, menurut berita merupakan gejala yang sering kali timbul pada pesta-pesta kematian seperti itu. Hal ini memang sesuai dengan longgarnya norma-norma moral orang Toraja. Hal ini juga dapat dijelaskan dari sudut pandang etnologis.
Jika anggota keluargannya cukup berada atau jika almarhum meninggalkan banyak harta benda, maka kadang-kadang orang menyertakan senjata-senjata, pakaian dan perhiasan di liang kubur.
Untuk mencegah pencurian, liang-liang kubur ini dipahat dibukit karang yang tinggi dan curam, serta ditutup dengan daun pintu dari kayu.
Jika seseorang melakukan pencurian perhiasan dari makam semacam ini pada masa sebelum kedatangan kita/Belanda, dia akan dihukum mati.
Upacara pengurbanan yang lain, seperti untuk penanaman padi dan pemasangan atap yang baru (mangara banua), tujuannya terutama untuk menyenangkan dewa-dewa, terutama yang jahat.
Jika ada rencana memberikan persembahan bagi para dewa, maka pada malam sebelumnya diberikan persembahan kepada nenek moyang. Persembahan ini dipisahkan secara tegas satu dengan yang lain; persembahan untuk nenek moyang disebut upacara ritual barat (aluk matampu), yang kepada para dewa disebut ritual timur (aluk matallo).
Orang-orang yang terlibat dalam menyelenggaraan ritual yang satu, tidak diperkenankan melakukan ritual lainnya. Demikianlah seorang pembalut jenazah (to mebalun = orang yang menyelenggarakan ritual upacara kematian), tidak boleh ikut upacara persembahan - kepada para dewa. Sawah-sawah milik orang lain tidak boleh dimasukinya.
To mebalun berasal dari golongan paria dari masyarakat Toraja dan biasanya tergolong tingkat budak (kaunan). la dilarang masuk rumah orang lain; jika seseorang membutuhkan tenaganya untuk suatu suatu hal, maka orang akan memanggil dia dengan melempar rumahnya dengan batu sebanyak tiga kali.
Jika ia meninggal, maka ia akan digantikan oleh salah satu putranya, yang akan menempati posisi yang juga menyendiri. Anak-anaknya yang lain boleh bebas bergaul ditengah masyarakat.
Kedudukan yang tersendiri dari to mebalun ini memang disebabkan karena persentuhannya dengan kematian; ia pada dasarnya tertular suasana kematian. To mebalun dibebaskan dari pajak jalan, kerja rodi bagi masyarakat dan pinonto (kewajiban kerja rodi untuk kepentingan para kepala).
Sebaliknya orang-orang yang telah melaksanakan persembahan bagi para dewa dan menjadi pemimpin pada upacara kultus penanaman padi (indo'padang, bunga' lalan, ma'tua ulu), tidak boleh menerima bagian dari upacara duka bagi orang meninggal; seorang pelaksana pengurbanan para dewa tidak boleh makan daging yang berasal dari upacara kematian, pada hari ia melakukan pengurbanan bagi para dewa.
Daging yang berasal dari hewan dipotong untuk persembahan para dewa, tidak boleh diletakkan berdekatan dengan daging yang berasal dari pesta kematian.
Ritual bersama dan ketentuan larangan disebut orang "aluk". Menurut kisah turun temurun aluk disampaikan kepada - pasangan manusia pertama yang turun ke bumi oleh Puang Matua sendiri.
Pengetahuan orang mengenal aluk, dikatakan membawa orang kembali burake dan tominaa yang pertama, yang dikirim oleh Puang Matua setelah bencana banjir besar Rura, untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.
Orang membedakan antara sukaran aluk. yaitu peraturan adat yang telah ditetapkan, ketetapan-ketetapan agama yang ditentukan (Dr. v.d. Veen) dengan tanqkean suru, yaitu hal berpegang kepada persembahan-persembahan, serta melakukan/menjalankannya, yaitu yang harus dibawakan setelah pengakuan suatu pelanggaran (Dr. v.d. Veen).
Secara garis besar ritual ini dapat dibedakan atas empat jenis :
1. Ritual kematian.
2. Ritual untuk mengusir bencana dan penyakit.
3. Ritual untuk meniadakan kejahatan yang timbul oleh kesalahan yang dibuat, serta upacara pengurbanan sebagai ungkapan terimakasih, jika kejahatan yang ditimbulkan itu telah hilang.
4. Ritual pembangkit kekuatan hidup, yaitu antara lain upacara pengkultusan padi.
Aneka pesta mabua, dan sebagainya.
Pada berbagai ritual, akan bertugas pemuka-pemuka berikut ini:
- to mebalun (pembalut jenazah) yang sudah disebutkan diatas
- dukun obat (to ma'dampi).
- Indo'padang atau bunga'lalan, to parenge yang khusus ditugaskan untuk upacara padi.
- To medampi adalah pemimpin suatu pesta yang bertujuan mengusir bencana dan untuk membawa kesembuhan bagi yang sakit keras {pesta maro).
- To minaa adalah ahli adat yang utama; ia tampil pada ritual- ritual yang dilaksanakan untuk mengusir bencana akibat kesalahan yang terjadi. Mereka menjalin hubungan baik dengan para dewa dan nenek moyang, mereka adalah pemuka agama dari masyarakat dan pria-pria yang berpengaruh. Bantuan mereka setiap saat dan dalam berbagai hal diperlukan.
Bersambung.... Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (6) - Arung Toraja (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (4) - Arung Toraja (arungsejarah.com)