Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (4)
BAGI setiap orang mati ada minimal satu simbuang; pada batu ini kita dengan jelas kita bisa mengenali bentuk lingga, simbol dari kekuatan hidup untuk melanjutkan keturunan.
Dikemudian hari bentuk ini boleh dikatakan lenyap. Pada batu- batu monolit ini menurut adat lama, diikatkan kerbau-kerbau yang akan dipotong pada pesta upacara. Sekarang orang juga menempatkan batang-batang pohon dari berbagai jenis pohon palem di Simbuang, atau juga bambu-pattung yang besar. Ini disebut orang Simbuang induk, simbuang kalosi, dan sebagainya,dan yang lainnya itu disebut simbuang batu untuk membedakannya..
Kerbau adalah lambang kekuatan hidup yang tegar. Pada pertarungan adu kerbau di arena pesta, hewan-hewan ini mengalami ketegangan seksual. Banteng, yang telah memenangkan semuanya, tanpa ragu dipotong dan diserahkan kepada kematian.
Dalam kaitannya dengan hal hal ini, pengembang-biakan kerbau Toraja yang sangat istimewa ini harus disebutkan selintas. Orang telah mengembang-biakkan kerbau-kerbau yang sangat bagus dengan rambut hitam kelam yang lebat, namun puncak kejayaannya adalah pengembang-biakan kerbau-kerbau yang memiliki bercak-bercak dengan berbagai variasi (tedong bonga). Setiap jenis pola memiliki nama dan makna tersendiri.
Harga-harga yang sangat fantastis (mis. 1000-2000 gulden bahkan hingga 3000 gulden) dibayar untuk hewan semacam itu, hanya untuk bisa mempertontonkannya di upacara kematian dan memotongnya. Kepemilikan atas banyak kerbau menaikkan status sosial seseorang serta bisa memberikan sejumlah keuntungan bagi penjualan hewan yang memiliki bangun tubuh yang dihargai tinggi, pola bercak serta letaknya yang spesifik, ataupun bulu hitam yang tebal dan indah.
Manfaat produktif kerbau secara langsung sebenarnya sedikit.
- Juga ayam jantan dianggap merupakan hewan yang kuat dan magis. Bersama dengan kerbau, ayam jantan merupakan simbol yang terus menerus kembali pada ukiran kayu di banua rapa (rumah pemuka masyarakat). Ayam jantan dalam pemikiran diasosiasikan dengan terbitnya matahari: jika hewan ini berkokok, maka matahari akan segera terbit (dan bukan sebaliknya).
Karena itu adu ayam pada pesta kematian yang besar mutlak ada. Kekuatan hidup yang penuh perjuangan yang dibangkitkan pada waktu upacara, berguna bagi orang yang meninggal. Jiwa-jiwa dari kerbau dan babi yang dipotong menjadi milik orang yang meninggal di dunia roh, demikian juga roh dari senjata, pakaian, perhiasan dan uang yang disertakan bagi dia saat pemakamannya.
Dengan lagu-lagu dan tarian yang telah dipersiapkan, orang berusaha menyenangkan almarhum, dengan teriakan-teriakan mereka mengusir roh-roh jahat, jika tiba waktunya, misalnya jika sisa-sisa jenazah dibaringkan dalam rumah-rumahan yang khusus dibangun untuk itu (ma'palao).
Berjudi tidak termasuk pada adat lama, tetapi masuk dari daerah Bugis kira-kira tiga generasi yang lalu.
Telah menjadi sifat yang hakiki dari suatu upacara mengulkutusan orang mati, bahwa pesta kematian harus diselenggarakan semeriah mungkin pada golongan status sosial yang lebih tinggi; secara lahiriah ini mendapatkan ciri mempertontonkan kemampuan sosial yang mengesankan.
Dengan acara ini, orang bukan saja menghormati almarhum, tetapi juga dirinya sendiri dan keluarga yang lain serta nenek moyang keluarga dari mana ia berasal. Dalam perjalanan waktu dari abad ke abad, hal ini semakin menjadi motifasi tambahan saja.
Hal ini dapat dilihat, jika orang datang di arena pesta kematian yang besar: berpuluh-puluh pondok yang dihiasi, yang didirikan ditempat pesta dimana terdapat simbuang, tempat pemotongan hewan (pantunuan), pondok tinggi tempat tominaa membagi daging secara seremonial, panggung lantai kayu yang tinggi untuk tempat adu ayam, rumah panggung tempat tamu-tamu terkemuka disambut, rumah panggung tempat dimana para tamu dapat menonton adu kerbau serta serta bangunan-bangunan lainnya.
Semua bangunan sementara ini harus dibakar atau dibiarkan berdiri setelah pesta; bahan-bahannya tidak boleh digunakan untuk keperluan lain setelah pesta. Yang terakhir ini dapat dimegerti: apa yang ditujukan bagi orang mati, tidak boleh lagi diambil oleh orang yang hidup, dan ini juga akan membawa bencana karena secara magis hal ini aneh.
Seringkali hingga beribu-ribu orang telah berkumpul untuk makan, minum dan berpesta. Semua ini sangat mahal. Seringkali terjadi bahwa orang menjadi miskin karena mau memperlihatkan dirinya kaya, pesta kemalian yang bagi mereka merupakan motif sekunder, akhirnya telah menjadi sumber bahan tertawaan.
PEMERINTAH Hindia Belanda telah bertahun-tahun mencoba membatasi pemborosan di pesta-pesta kematian semacam ini. Hal ini dibahas ditempat lain. Perjudian secara umum sejak tahun 1912 tidak lagi diperkenankan. Hanya para Puang yang berkuasa saat itu di Sangalla', Makale dan Mengkendek yang pada masa itu menerima persetujuan tertulis, bahwa pada pesta-pesta kematian yang mereka rayakan, mereka diperkenankan menyelenggarakan perjudian selama beberapa hari.
Incest, juga diantara orang-orang yang menurut adat sama sekali tidak diperkenankan menikah karena hubungan keluarga yang terlalu dekat, menurut berita merupakan gejala yang sering kali timbul pada pesta-pesta kematian seperti itu. Hal ini memang sesuai dengan longgarnya norma-norma moral orang Toraja. Hal ini juga dapat dijelaskan dari sudut pandang etnologis.
Jika anggota keluargannya cukup berada atau jika almarhum meninggalkan banyak harta benda, maka kadang-kadang orang menyertakan senjata-senjata, pakaian dan perhiasan di liang kubur.
Untuk mencegah pencurian, liang-liang kubur ini dipahat dibukit karang yang tinggi dan curam, serta ditutup dengan daun pintu dari kayu.
Jika seseorang melakukan pencurian perhiasan dari makam semacam ini pada masa sebelum kedatangan kita/Belanda, dia akan dihukum mati.
Upacara pengurbanan yang lain, seperti untuk penanaman padi dan pemasangan atap yang baru (mangara banua), tujuannya terutama untuk menyenangkan dewa-dewa, terutama yang jahat.
Jika ada rencana memberikan persembahan bagi para dewa, maka pada malam sebelumnya diberikan persembahan kepada nenek moyang. Persembahan ini dipisahkan secara tegas satu dengan yang lain; persembahan untuk nenek moyang disebut upacara ritual barat (aluk matampu), yang kepada para dewa disebut ritual timur (aluk matallo).
Bersambung.... Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (5) - Arung Toraja (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (3) - Arung Toraja (arungsejarah.com)