Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (3)
URAIAN jenis-jenis pemuka adat ini sangatlah singkat dan hanya boleh digunakan untuk menetapkan jalan pikiran, karena tidak dilakukan secara terperinci. Di bawah ini diuraikan apa yang ditulis oleh Seinstra mengenai religi orang Tae-Toraja. Disini dilakukan beberapa perubahan dan penambahan yang perlu.
Semua mahluk hidup dan benda-benda mati dianggap dihuni oleh roh-roh, yang dalam segala hal harus ada hubungan yang baik dengan mereka. Gunung, batu-batu karang, sumber air, sungai-sungai, batu-batu besar, tanah, semuanya dihuni oleh roh-roh.
Karena itu jika pertama kali orang mau membuka sawah atau kebun harus dibawa persembahan bagi para dewa yang tinggal didalam tanah disitu, untuk sedapat mungkin mencegah adanya .dampak negatif yang dapat terjadi.
Jika seseorang menyeberangi sungai dengan membawa daging yang dibawa dari suatu pesta kurban, maka orang harus menjatuhkan sepotong kecil dari daging ini kedalam air agar tidak terseret arus ke kedalaman.
DEWA-DEWA dan roh-roh disebut deata, dengan arti dewa, roh, kekuatan hidup, yang menjiwai segala manusia, roh kehidupan, juga jiwa manusia (Dr. H. v.d. Veen). Deata dari padi adalah daya kehidupan yang tersimpan dalamnya, deata dari manusia atau hewan adalah roh kehidupan yang tinggal didalam mereka.
Tempat-tempat yang diperkirakan dihuni oleh roh-roh disebut to'deata; tempat-tempat ini harus dihormati oleh manusia. Pencipta bumi serta segala sesuatu yang hidup di atasnya adalah Pong Matua yang tinggal di tengah-tengah jagad raya. Pada masa lalu ia secara teratur berhubungan dengan bumi ini; orang yang ia ciptakan tinggal di langit, dan keturunannya turun ke bumi.
Di kemudian hari penghubung antara langit dan bumi ini ditendang hingga berantakan oleh Puang Matua karena kesalahan manusia itu sendiri, sedang sisa jalur penghubung itu masih dapat dilihat di Kandora (suatu gunung dekat Makale) dan di Sarira, sebuah pegunungan kapur di Sangalla' dan Kesu'.
Jiwa yang tinggal didalam manusia, yang setelah kematiannya untuk beberapa lama tinggal berkeliaran sebagai roh (bombo) disekitar tempat tinggalnya, kemudian pergi menuju ke negeri roh {tujo atau tana bombo). Di negeri roh ini, yang menurut perkiraan orang berada di muara sungai Sa'dan di sebelah Barat Daya, roh-roh ini menjalani suatu kehidupan yang sama seperti cara hidup orang di bumi, sehingga orang mempersembahkan kepada orang-orang mati ini kerbau, babi, beras, emas dan perhiasan.
Apa yang kemudian terjadi dengan jiwa-jiwa ini setelah tinggal di dunia roh, tidak diketahui. Menurut beberapa orang, mereka masih meninggal lagi beberapa kali, dan setelah mereka tiba kembali di tanah kelahirannya sebagai semut-semut yang bersembunyi di antara rerumputan, kemudian mereka naik ke udara bersama asap jika ada sesuatu yang terbakar, untuk tinggal melayang-layang di sana (menurut orang Toraja, asap dan awan itu sama = rambu).
Karena roh seseorang yang telah meninggal masih dapat menimbulkan bencana untuk waktu yang lama, terutama jika ia masih berkelana disekitar tempat tinggalnya, maka keluargannya yang masih hidup berusaha dengan segala cara agar roh itu tetap merasa senang, yaitu dengan selalu membawakan persembahan dalam bentuk kerbau, babi, ayam, nasi, dan sebagainya.
Mulai saat meninggalnya seseorang, berlaku serangkaian peraturan adat yang rumit, yang sangat bervariasi sifatnya menurut tingkatan sosial almarhum (ah). Juga adat ini sangat berbeda-beda di masing-masing lembang, dan bahkan didalam banyak lingkungan lembang.sering terjadi perbedaan. Berkaitan dengan peraturan dan larangan adat bagi setiap orang meninggal, maka penutupannya selalu berlangsung pada pesta manene yang pertama setelah pemakamannya.
Ma'badong (nyanyian dan tarian kematian) segera dilakukan setiap malam setelah seseorang meninggal. Dengan sendirinya upacara kultus ini jauh lebih beragam, sejalan dengan tingkat sosial almarhum jika berasal dari golongan sosial yang lebih tinggi dan kemampuan ekonomi yang lebih besar. Merka yang dari golongan budak melaksanakannya dengan sederhana, golongan Puang melakukan yang paling mewah. Setahun sekali orang membuat pesta bagi semua yang meninggal (manene).
Pesta kematian bersifat religius mengingat pesta ini adalah puncak sekaligus pesta terakhir dari kehidupan dari orang yang dipestakan. Disini orang membuatkan suatu penghantaran yang meriah dan memberikan kepadanya sebanyak mungkin kekuatan hidup dan harta milik, sebanyak yang bisa dikumpulkan orang bagi dirinya.
Kesimpulannya sudah jelas, bahwa orang berusaha melakukan pendamaian atas kehilangan yang dialami almarhum dengan perpisahannya, mulai saat kematiannya hingga perpisahan yang definitif (lihat juga di butir Pesta Kematian), dan berusaha menyenangkan hatinya agar ia tidak melakukan hal-hal yang jahat terhadap orang-orang yang ditinggalkan, serta untuk memberi dia bekal yang baik bagi kehidupannya diakhirat.
(Kontrolir Seinstra merasa telah menyimpulkan hal ini juga, namun berdasarkan fakta-fakta yang lain). Sekalipun saya tidak sempat untuk melakukan penelitian sendiri untuk memastikan hal ini, namun banyak unsur-unsur upacara kematian yang dapat menjadi acuan yang mendukung kesimpulan ini, dan ini juga sepenuhnya sesuai dengan ciri-ciri karakter kepercayaan kafir di Indonesia.
Kekuatan hidup (magis/gaib) dari orang meninggal diberikan oleh Simbuana pada pesta kematiannya, dan juga oleh pertarungan adu kerbau dan ayam. Simbuang adalah batu monolit yang didirikan bagi orang meninggal tersebut disuatu tempat dimana suatu silsilah keturunan dari satu tongkonan sejak dahulu kala merayakan pesta kematian (dirapa'i).
Bersambung.... Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (4) - Arung Toraja (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Agama/Kepercayaan Orang Toraja dalam Catatan Belanda 1947 (2) - Arung Toraja (arungsejarah.com)