Perkawinan dan Perceraian Orang Kristen di Toraja 1947
Ilustrasi |
TANA TORAJA tentu memiliki banyak keunikan, khususnya terkait budaya. Sejak masa lalu, wilayah ini juga menjadi salah satu objek penulisan dari berbagai bangsa, khususnya para peneliti Belanda. Selain itu, dalam hal pemerintahan ada satu yang menarik dari peninggalan Belanda dan hingga saat ini dilakukan dalam pemerintahan yakni adanya laporan yang buat setiap berakhirnya masa pemerintahan. Laporan ini disebut LAPORAN SERAH TERIMA yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Memorie van Overgave.
Salah satu yang terkait dengan Tana Toraja yakni Memorie van Overgave berkaitan dengan onderafdeeling Tana Toraja dari Kontrolir peletak jabatan di Kementerian Dalam Negeri (B.B): J.M. Van LIJF yang memerintah dari 23 Juli 1946 s/d 23 Juni 47. Dalam laporan diterbitkan kembali Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu naskah sumber salah satunya berisi mengenai Tradisi Perkawinan dan Perceraian Orang Kristen di Toraja 1947. Berikut laporannya:
***
Perkawinan dan Perceraian Orang Kristen
Pada masa lalu, perkawinan Kristen dilaksanakan didepan petugas catatan sipil; ini hanya benar menurut para petugas hukum Pemerintah Pusat, karena ketetapan Lembar Negara 1864 No. 142 tidak dapat diterapkan pada Pemerintah Daerah Bawahan (Onderhorigheden v.h. Landschap) seperti Tana Toraja. Jadi semua penduduk negeri/wilayah bawahan, tak pandang jenisnya, harus menikah menurut cara/kebiasaan setempat; sementara orang Kristen dapat minta diberkati di gereja.
Sejak lebih dari 20 tahun orang Kristen mencatatkan/mendaftarkan perkawinan mereka pada Akta Notaris Indonesia dihadapan Kepala Lembang. Untuk memperkuat ikatan perkawinan, syarat kapa selalu dicantumkan dalam akte. Orang non-Kristen semakin mengikuti contoh ini. Sebelum perang, ada Pengaturan Perkawinan dan Perceraian Penduduk Kristen Pemerintah Daerah Bawahan yang selama bertahun-tahun menjadi bahan diskusi antara Pemerintah dan Zending (missi Protestan).
Sejak 1938, sejauh berkas-berkas arsip dapat menunjukkan hal ini, tidak lagi dapat diketemukan perkembangan mengenai penyelesaian perdebatan ini. Baru-baru ini, rencana program ini kembali berada dalam tangan saya, setelah sinode Gereja- gereja Protestan di Tana Toraja mebuat pernyataan pada akhir Maret yang lalu atas usulan saya.
Rencana program ini dipelajari dengan seksama serta dibahas bersama dengan Dewan Harian (Tongkonan Adat) Tana Toraja. Pada Rapat para Kepala Lembang (Kombongan Adat) tanggal 2 Juni yang lalu, rancangan yang telah diperbaiki tersebut diterima secara aklamasi tanpa pemungutan suara individual.
Setelah berulang kali dibahas dengan Tongkonan Adat, tanggal 17 Juni berikutnya kemudian dengan surat pengantar tertanggal 19 Juni 1947 No. 3067/BS rancangan ini diajukan untuk diproses lebih lanjut kepada Kepala Afdeling Tana Toraja. Mudah-mudahan setelah dipelajari oleh ahli-ahli hukum di Makassar, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat dilakukan penetapan dan pengumuman dari peraturan ini.
Zending selama ini menganggap penting untuk memperkuat ikatan perkawinan di kalangan orang Kristen. Missi yang ditempatkan disini sejak 1938 mengambil sikap yang sangat tegas mengenai hal ini. Karena mereka disini baru mendapatkan sedikit orang yang mau masuk kepercayaan mereka, maka masalah ini bagi mereka belum terlalu serius.
Tak dapat diragukan lagi bahwa zending memperoleh sukses melalui bimbingan dan ajaran mereka. Namun belum ada alasan untuk merasa puas; moral Kristen tidak mempengaruhi masyarakat dengan cepat.
Karena pencatatan perkawinan dengan "Surat kongsi" (didepan notaris) sudah membawa - beberapa perbaikan, maka kami rasa bahwa kami tak boleh lagi menunda-nunda rencana menuju langkah berikutnya. Gereja-gereja Protestan dan Kepala-kepala Lembang telah berjanji akan memberikan dukungan sepenuhnya.
Setelah kesulitan-kesulitan awal, nantinya peraturan ini akan dapat bersifat wajib dilaksanakan. Pencatatan perkawinan Kristen yang monogami dengan demikian harus sesuai peraturan. Untuk itu diperlukan pemenuhan syarat-syarat yang disesuaikan dengan peraturan adat yang berlaku umum. Ini bukan langkah kemajuan yang besar. Tetapi perceraian hanya dapat diputuskan oleh Hadat Besar.
Selain meninggalkan pasangannya, tak ada alasan perceraian yang tercatat disitu. Jadi disitu adat dapat diterapkan. Setelah masyarakat menjadi semakin yakin, maka Hadat Besar dapat menerapkan norma vonis yang lebih berat. Dampak perceraian tersebut bagi keluarga dan para ahli waris ditetapkan dalam vonis. Ini sepenuhnya menjadi suatu peraturan hukum perdata.
Orang Kristen yang melanggar ketentuan-ketentuan ini harus menanggung akibatnya, yang ditetapkan hukum pelanggaran (adat) dan hukum waris adat. Hukum adat pada dasarnya disini telah dilanggar, karena sekalipun hanya boleh dilakukan oleh kepala lembang, perkawinan Kristen dinyatakan sah secara hukum.
Diharapkan saja, bahwa untuk jangka panjang, contoh yang diberikan oleh orang-orang Kristen juga akan diikuti oleh yang lainnya. Pengkristenan yang tetap berlangsung akan menambah penerapan ini secara langsung.